Badan eksekutif di Indonesia adalah Kantor Presiden. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan masing-masing selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Dalam hal Presiden meninggal dunia, mengundurkan diri, diberhentikan, atau tidak dapat menjalankan tugas kepresidenan sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Dasar, maka Presiden digantikan oleh Wakil Presiden. Wakil Presiden akan menjalani sisa masa jabatan Presiden yang digantikan. Kantor Wakil Presiden tidak boleh kosong lebih dari 60 hari. MPR menyelenggarakan sidang khusus untuk memilih seorang Wakil Presiden dari daftar dua calon yang diajukan oleh Presiden.
Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membuat perjanjian internasional yang berdampak besar dan mendasar bagi kehidupan rakyat, terutama perjanjian internasional yang membebani posisi keuangan negara atau mengharuskan negara untuk mengubah atau membuat undang-undang. Ketika Presiden ingin mengangkat duta besar atau ingin memberikan amnesti atau pengampunan, Presiden harus mempertimbangkan rekomendasi DPR. Ketika Presiden hendak memberikan grasi terhadap suatu putusan atau merehabilitasi nama seorang terpidana maka Presiden harus mempertimbangkan rekomendasi Mahkamah Agung.
Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Setiap RUU, demi undang-undang, harus dibahas oleh Presiden dan DPR dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama antara para pihak mengenai isi RUU tersebut. Jika RUU tersebut tidak mencapai kesepakatan bersama para pihak yang diperlukan, maka RUU itu tidak dapat diajukan lagi untuk dibahas di DPR pada sidang parlemen saat ini. Dalam hal RUU tersebut memang mendapatkan kesepakatan bersama, telah diajukan ke parlemen, dibahas, dan disahkan, maka RUU tersebut menjadi undang-undang. Sebuah RUU yang disetujui oleh parlemen secara otomatis akan menjadi undang-undang setelah 30 hari bahkan jika Presiden gagal mengesahkan undang-undang tersebut dalam jangka waktu tersebut. Tindakan terakhir sebelum suatu RUU menjadi undang-undang adalah diumumkannya dalam Berita Negara.
Syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tidak berat, tapi menyeluruh. Calon Presiden atau Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah memegang kewarganegaraan negara lain. Alasan untuk ketentuan tersebut adalah bahwa patriotisme seseorang dipertanyakan jika mereka lahir di luar negeri atau pernah memegang kewarganegaraan negara lain, terutama dengan tuduhan bahwa kesetiaan mereka terbagi yang mengarah pada peningkatan risiko pengkhianatan dan pengkhianatan terhadap negara. . Selanjutnya, calon Presiden dan Wakil Presiden harus sadar rohani dan sehat jasmani dan rohani agar dapat berhasil menjalankan tugas dan wewenang Kantor Presiden dan Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden dipilih sebagai tim paket langsung oleh pemilih. Paket atau pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon yang memperoleh lebih dari 50% suara dari sedikitnya setengah dari jumlah suara Sejumlah provinsi di Indonesia akan dinyatakan menang pemilu.
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Ada beberapa jenis dugaan pelanggaran yang dapat mengakibatkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dimakzulkan: a) jika terbukti di pengadilan telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang makar, korupsi , penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perilaku tidak jujur, b) apabila secara hukum terbukti tidak mampu memenuhi tugas dan fungsi yang disyaratkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Usulan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya jika DPR telah meminta Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan mengadili berdasarkan dugaan pelanggaran yang dilakukan DPR. Presiden tidak dapat memberhentikan atau memberhentikan DPR dengan memastikan bahwa Presiden atau Wakil Presiden dapat mencoba untuk menghindari proses pemakzulan dengan membubarkan parlemen.
Presiden dapat memberikan grasi kepada narapidana dalam bentuk mengubah, menurunkan, atau menghapus hukuman atau keputusan. Grasi tidak mengharuskan Presiden memberikan pertimbangan atau bobot tertentu terhadap keputusan hakim asli dalam masalah tersebut. Grasi dianggap sebagai Hak Istimewa Presiden yang dilaksanakan dalam parameter belas kasih atau pengampunan. Penting untuk dicatat bahwa grasi dapat mengubah, menurunkan, atau menghapus hukuman pidana yang melekat pada keputusan asli tetapi tidak menghilangkan kesalahan terpidana juga tidak berusaha untuk merehabilitasi nama atau reputasi terpidana.
Setiap putusan atau putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang dan dianggap final dan mengikat terhadap terpidana dapat diajukan banding langsung oleh terpidana kepada Presiden untuk mendapatkan grasi. Vonis yang dapat dimohonkan grasi antara lain: a) hukuman mati, b) hukuman seumur hidup, c) dan hukuman penjara lebih dari dua tahun. Permohonan grasi tidak menunda eksekusi putusan Pengadilan kecuali dalam kasus hukuman mati.
Permohonan grasi harus diajukan secara tertulis oleh narapidana, kuasa hukum narapidana, atau keluarga narapidana kepada Presiden. Salinan kasasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara di tingkat pertama, kemudian pengadilan tingkat pertama akan menyampaikan kasasi ke Mahkamah Agung. Banding dan salinan banding dapat diberikan kepada Kepala penjara, yang kemudian berkewajiban untuk mengirim banding kepada Presiden dan mengirim salinannya ke pengadilan yang memutuskan kasus di tingkat pertama.
Selambat-lambatnya 20 hari sejak salinan permohonan kasasi diterima, pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama harus mengirimkan salinan itu dan berkas perkara terpidana ke Mahkamah Agung. Dalam waktu 3 bulan setelah menerima dokumen dari pengadilan tingkat pertama, Mahkamah Agung harus mengirimkan rekomendasinya kepada Presiden.
Presiden berhak menerima atau menolak permohonan grasi. Namun demikian, Presiden harus mempertimbangkan rekomendasi Mahkamah Agung, namun dalam hal Mahkamah Agung memberikan grasi, Presiden tetap memiliki hak prerogatif untuk menolak permohonan grasi tersebut. Penerimaan permohonan grasi oleh Presiden biasanya berupa: a) pengurangan atau perubahan hukuman yang dijatuhkan, b) pengurangan nominal hukuman yang dijatuhkan, c) dan penghapusan hukuman yang dijatuhkan.
Referensi
- https://www.aseanlawassociation.org/