Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Termasuk Kekuasaan Legislatif

by Estomihi FP Simatupang, SH.,MH

Posted on June 26, 2023 12:51

 

Trias Politica merupakan konsep pemerintahan yang telah dianut oleh banyak negara di dunia. Konsep dasarnya adalah kekuasaan di suatu negara tidak boleh dipusatkan pada satu struktur kekuasaan negara melainkan harus disebarkan di dalam berbagai cabang kekuasaan negara yang berbeda. Pemisahan kekuasaan atau dikenal dengan nama  trias politica ini adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang/organ yang sama, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Tujuannya adalah untuk menghindari absolutisme, sehingga kekuasaan di dalam negara tersebut harus dipisahkan dan dilaksanakan oleh setiap cabang kekuasaan yang dipegang oleh organ yang berbeda.

Trias Politica pada umumnya menunjukkan pemisahan kekuasaan pada 3 (tiga) lembaga berbeda, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang menegakkan aturan suatu undang-undang apabila terjadi pelanggaran dengan menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.

UUD NRI Tahun 1945 tidak menganut sepenuhnya ajaran trias politica dalam bentuk aslinya. Pemisahan kekuasaan dapat dibedakan menjadi pemisahan kekuasaan dalam arti material dan pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan secara tegas dalam 3 (tiga) cabang kekuasaan, artinya antara kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif benar-benar terlepas antara tugas cabang yang satu dengan cabang lainnya. Tidak boleh ada hubungan kerjasama yang dapat menimbulkan penyimpangan pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawabnya. Pengertian pemisahan kekuasaan formal menunjukkan adanya cabang kekuasaan yang berbeda tetapi dalam penyelenggaraan fungsinya tidak saling terpisah.

Jimly Asshiddiqie menggunakan istilah pemisahan kekuasaan horisontal dan pemisahan kekuasaan vertikal:[1]

Pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Pra-Amendemen, UUD 1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara yang ada di bawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, BPK, dan seterusnya.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa dalam perspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer.[2] Karena itu, dalam UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen, tidak diatur pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif. Sebagaimana hal ini terlihat pada pengaturan pembentukan UU, DPR tidak melaksanakan sendiri fungsi tersebut tetapi bersama-sama dengan Presiden. Bahkan jika DPR tidak setuju terhadap rancangan undang-undang, maka pembahasan tidak dapat dilanjutkan.[3] Jika melihat ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang belum diamandemen, fungsi utama DPR lebih merupakan lembaga pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya.

Setelah reformasi terjadi perubahan, karena amandemen atau perubahan pertama dan perubahan kedua UUD NRI Tahun 1945 mulai mengadopsi prinsip pemisahan kekuasaan secara horisontal seperti tercermin dalam perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20. Prinsip pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan ini penting untuk dijernihkan karena pilihan di antara keduanya sangat mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antarlembaga negara secara keseluruhan. Dalam paham pemisahan kekuasaan, prinsip hubungan checks and balances antara lembaga-lembaga tinggi negara, dianggap sebagai sesuatu yang sangat pokok.[4]

Jelaslah bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan di negara kita setelah amandemen UUD NRI Tahun 1945, tidak lagi sepenuhnya menganut sistem pembagian kekuasaan “distribution of power” melainkan cenderung pada sistem pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan “separation of power”. Dalam prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut dalam UUD NRI Tahun 1945 disertai dengan penerapan prinsip hubungan saling mengawasi dan mengimbangi antarlembaga negara, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD. DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan pemerintahan. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, namun demikian, setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.[5] Sedangkan DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pemekaran daerah, pengelolah sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.[6]

Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, namun harus dijalankan menurut ketentuan UUD NRI Tahun 1945 dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di samping itu terdapat prinsip saling mengawasi dan mengimbangi, Presiden juga berhak mengajukan RUU kepada DPR. Sementara itu, kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan perdilan agama, dan lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Selain 3 (tiga) cabang kekuasaan yang disebut di atas (legislatif, eksekutif dan yudikatif), terdapat perkembangan baru yaitu munculnya lembaga-lembaga yang bersifat independen. Lembaga-lembaga independen tersebut sebagian lebih dekat ke fungsi legislatif dan regulatif, sebagian lagi lebih lebih dekat ke fungsi administratif-eksekutif, dan bahkan ada juga yang lebih dekat kepada cabang kekuasaan yudikatif. Badan Pemeriksa Keuangan jelas hubungannya sangat dekat dengan fungsi pengawasan oleh DPR.[7]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara independen yang masuk dalam ranah kekuasaan legislatif di bidang pengawasan.


[1]Jimly Asshiddiqie, 2012, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hlm. 165-166.

[2] Ibid.

[3] Lihat Pasal 5 ayat (1) UUD 1945: Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,dan Pasal 20 ayat (1) Tiap-tiap Undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat(2) Jika suatu rancangan Undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

[4]Jimly Asshiddiqie, Loc.cit.

[5] Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[6] Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[7]Jimly Asshiddiqie, 2012, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 20.


Referensi :

  • Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan 

 

 

Daftar Referensi Bacaan

Total Views : 330

Responsive image
Related Post

× Harap isi Nama dan Komentar anda!
berandahukum.com tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Komentar pada artikel ini
Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image Responsive image

Kirim Pertanyaan

Pengantar Ilmu Hukum
Lembaga Peradilan
Profesi Hukum
Contoh Surat-Surat
Lingkup Praktek
Essay